Inilah kisah seorang pria di Yogyakarta yang memperbarui cara minum kopi dengan mencemplungkan arang panas ke dalamnya.
Hari Minggu pukul 23.00, sepanjang jalan di sebelah utara Stasiun Tugu Yogyakarta dipenuhi para pemuda yang ngemil sate dan menenggak gelas berisi kopi kental dan berasap. Perbincangan tengah malam sambil ngopi sebenarnya bukanlah hal yang asing di Indonesia, namun daerah ini khas karena menyajikan kopi campur arang yang bisa membantu menenangkan perut yang "gelisah".
Arang membantu menetralisasi asam lambung dan sudah lama menjadi obat
bagi masalah gas dan kembung. Kini demi kepraktisan, tablet arang
memang dijual di apotek, tetapi 50 tahun lalu kopi tampaknya adalah cara
yang lebih menyenangkan untuk mencerna obat yang mengatasi masalah
perut dan usus.
Meski beberapa peramu kopi arang bilang minuman ini membangkitkan stamina, kopi arang mendapatkan popularitas lebih karena keunikannya. Sebagai minuman pilihan, orang sering memilih teh atau tape, fermentasi dari singkong. Dan dari pukul 17.00 sampai dini hari, orang duduk lesehan di depan warung sambil ngobrol — aktivitas favorit di kota yang terkenal sebagai kota pelajar ini.
Tipe kerumunan yang datang tergantung jam kedatangan. Kadang pegawai kantoran mampir sepulang kerja untuk mengudap tempe goreng, lumpia dan “nasi kucing” (nasi bungkus dengan porsi kecil). Sementara itu, pasangan kekasih biasanya datang lebih malam untuk berkencan. Banyak juga yang nongkrong untuk bermain musik.
Suasana yang hidup itulah yang menarik pelanggan datang kembali. Meski kini tempat itu mulai makin populer di kalangan turis dan para blogger perjalanan, suasananya tetap ramah dan intim seperti kebanyakan tempat nongkrong di Yogyakarta.
Kini meski usianya sudah menginjak 80 tahun, Pak Man kadang-kadang tetap muncul di warung kopinya untuk merebus air di ketel dan mengajak ngobrol pelanggan. Jika dia tidak ada, beberapa pria muda bertugas sebagai pelayan dan Pak Alex akan menggantikan Pak Man meracik kopi. Warung kopi itu sendiri terbuat dari kumpulan tenda dan potongan kayu yang disusun menjadi bangku panjang. Kompor di warung itu terletak di dapur temporer yang tersambung ke tiang bambu. Sesudah warung tutup, Pak Alex akan membawa pulang tiang itu.
Ketika kopi joss saya sudah habis, Pak Alex bertanya pendapat saya
tentang kopi itu. Saya bilang, rasanya manis, seperti kebanyakan makanan
dan minuman di Jawa Tengah. Dan dari bawah kumisnya yang tidak ia tata,
ia tersenyum lebar. Kopi joss sesuai buat mereka yang mencari sedikit
kesenangan, sedikit tantangan, dan dinamika. Yang semuanya ada di
Yogyakarta.
Kopi Joss Lek Man Jl. Wongso Dirjan (sisi utara Stasiun Tugu Yogyakarta)
Buka: mulai pukul 16.00 setiap hari
Hari Minggu pukul 23.00, sepanjang jalan di sebelah utara Stasiun Tugu Yogyakarta dipenuhi para pemuda yang ngemil sate dan menenggak gelas berisi kopi kental dan berasap. Perbincangan tengah malam sambil ngopi sebenarnya bukanlah hal yang asing di Indonesia, namun daerah ini khas karena menyajikan kopi campur arang yang bisa membantu menenangkan perut yang "gelisah".
Pak Man
Seorang
pria tua yang akrab dipanggil Pak Man telah membuat kopi joss sejak
tahun 1960-an. Seperti kebanyakan racikan kopi dari daerah ini, ia
mencampur bubuk kopi dengan empat sendok gula. Kemudian ia menuang air
panas dari ketel besi dan diikuti dengan memasukkan bahan utama: arang
yang masih menyala dari api kompor.
Meski beberapa peramu kopi arang bilang minuman ini membangkitkan stamina, kopi arang mendapatkan popularitas lebih karena keunikannya. Sebagai minuman pilihan, orang sering memilih teh atau tape, fermentasi dari singkong. Dan dari pukul 17.00 sampai dini hari, orang duduk lesehan di depan warung sambil ngobrol — aktivitas favorit di kota yang terkenal sebagai kota pelajar ini.
Tipe kerumunan yang datang tergantung jam kedatangan. Kadang pegawai kantoran mampir sepulang kerja untuk mengudap tempe goreng, lumpia dan “nasi kucing” (nasi bungkus dengan porsi kecil). Sementara itu, pasangan kekasih biasanya datang lebih malam untuk berkencan. Banyak juga yang nongkrong untuk bermain musik.
Suasana yang hidup itulah yang menarik pelanggan datang kembali. Meski kini tempat itu mulai makin populer di kalangan turis dan para blogger perjalanan, suasananya tetap ramah dan intim seperti kebanyakan tempat nongkrong di Yogyakarta.
Kini meski usianya sudah menginjak 80 tahun, Pak Man kadang-kadang tetap muncul di warung kopinya untuk merebus air di ketel dan mengajak ngobrol pelanggan. Jika dia tidak ada, beberapa pria muda bertugas sebagai pelayan dan Pak Alex akan menggantikan Pak Man meracik kopi. Warung kopi itu sendiri terbuat dari kumpulan tenda dan potongan kayu yang disusun menjadi bangku panjang. Kompor di warung itu terletak di dapur temporer yang tersambung ke tiang bambu. Sesudah warung tutup, Pak Alex akan membawa pulang tiang itu.
Kopi arang imitasi
Beberapa
tahun setelah Pak Man pertama kali menciptakan kopi joss, ada tiga
warung lain yang muncul di sepanjang jalan yang sama. Sudut jalan itu
pun kemudian makin ramai oleh pengamen, pengemis, dan tukang becak yang
bergiliran muncul.
Kopi Joss Lek Man Jl. Wongso Dirjan (sisi utara Stasiun Tugu Yogyakarta)
Buka: mulai pukul 16.00 setiap hari
Tidak ada komentar:
Posting Komentar