Sedihnya, sisa-sisa benteng kuno di pulau ini kurang terawat, bahkan Pulau Kelor sendiri diperkirakan akan tenggelam dalam kurun 45 tahun ke depan.
Dari pelabuhan Muara Kamal, Jakarta Barat, Pulau Kelor bisa dicapai dalam waktu 20 menit dengan perahu motor. Dalam perjalanan yang singkat itu, perahu motor bisa saja tiba-tiba terhenti karena baling-balingnya tersangkut sampah. Perairan di sekitar Muara Kamal ibarat tempat pembuangan sampah raksasa, sehingga air laut menjadi berwarna hitam pekat dan mengeluarkan aroma tidak sedap.
Makin jauh dari pesisir Jakarta, warna air laut berangsur-angsur menjadi coklat terang. Gambaran suram kerusakan lingkungan di perairan Jakarta akan berganti dengan panorama yang mempesona. Hamparan pasir putih yang bersih akan menyapa pengunjung setelah perahu merapat di Pulau Kelor.
Nama asli Pulau Kelor sebenarnya adalah Pulau Kherkof. Konon, masyarakat setempat menyebutnya Pulau Kelor karena ukurannya sangat mungil, dianggap hanya selebar daun kelor. Luas pulau yang saat ini kurang dari 2 hektar diperkirakan terus menyusut akibat abrasi dan kenaikan permukaan laut.
Bahkan pakar lingkungan memperkirakan, Pulau Kelor bisa tenggelam kalau pengaruh buruk lingkungan tidak diredam.
Pulau Kelor pernah menjadi bagian sejarah kelam penjajahan Belanda di Indonesia karena menjadi kuburan bagi banyak tahanan politik yang dihukum mati. Penghuni Pulau Kelor sendiri hanya kucing-kucing liar yang tak jelas asalnya dan terkadang para pemancing ikan.
Daya tarik utama Pulau Kelor adalah Benteng Martello yang dibangun VOC pada abad ke-17. Benteng ini terbuat dari batu bata merah berbentuk lingkaran supaya senjata bisa bermanuver 360 derajat. Benteng Martello dibuat VOC sebagai alat pertahanan untuk meredam serangan musuh yang ingin menyerang Batavia.
Sisa-sisa Benteng Martello sebenarnya juga bisa ditemukan di Pulau Bidadari dan Pulau Onrust, namun bentuknya yang paling utuh hanya bisa dilihat di Pulau Kelor. Benteng Martello di Pulau Onrust bahkan hanya tinggal fondasinya saja.
Benteng Martello di Pulau Kelor rusak parah karena terjangan tsunami akibat letusan Krakatau pada tahun 1883. Pengikisan karena gelombang laut juga membuat bagian luar benteng terendam air. Untuk mengurangi dampak pengikisan, kini dipasang pilar-pilar pemecah gelombang.
Menurut Asep Kambali, pendiri Komunitas Historia Indonesia (KHI) yang sering memandu tur ke Pulau Kelor, kerusakan situs sejarah di Pulau Kelor tidak hanya disebabkan faktor alam. Wisatawan dan nelayan yang berlabuh di pulau itu juga punya andil dalam memperparah kerusakan. Asep Kambali sendiri pernah memasang papan pengumuman yang berisi larangan merusak benteng, namun tangan jahil rupanya telah membuang papan peringatan itu.
Saat saya berkunjung ke Pulau Kelor, beberapa pemancing ikan dengan seenaknya menggantung pakaian dan alat pemancingan di dinding Benteng Martello. Mereka menancapkan paku-paku di dinding benteng untuk dibuat gantungan. Tindakan ini tentu saja bisa merusak situs sejarah yang sangat penting, tetapi pemerintah dan masyarakat ternyata masih kurang peduli.
Upaya pemerintah untuk mengembangkan tujuan wisata sejarah di Pulau Kelor dan pulau-pulau lainnya di Kepulauan Seribu juga masih belum maksimal, terang Asep Kambali. Sampai sekarang belum ada angkutan umum berbiaya murah yang bisa mengantar wisatawan ke Pulau Kelor. Untuk mencapai pulau-pulau bersejarah di Kepulauan Seribu, pengunjung harus menyewa perahu yang biayanya cukup mahal.
Kunjungi juga blog Hairun Fahrudin di easybackpacking.blogspot.com.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar